JAKARTA, matacandra.online  – Presiden Prabowo Subianto kembali melakukan reshuffle Kabinet Merah Putih pada Senin (8/9/2025). Dalam perombakan kali ini, terdapat lima menteri yang digantikan, yaitu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Menteri Keuangan, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Menteri Koperasi, serta Menteri Pemuda dan Olahraga.

Pergantian menteri merupakan hal yang wajar dalam sistem pemerintahan dan menjadi hak prerogatif presiden. Praktik reshuffle sendiri memiliki sejarah panjang di Indonesia dan sudah berlangsung sejak masa awal kemerdekaan.


Reshuffle Pertama di Era Soekarno

Catatan sejarah menunjukkan, reshuffle kabinet pertama kali dilakukan oleh Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965).

Pada Februari 1966, Soekarno merombak Kabinet Dwikora I dan membentuk Kabinet Dwikora II. Keputusan ini diambil di tengah demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang menuntut perombakan total pemerintahan karena kondisi negara yang semakin memburuk.

Menurut catatan Soe Hok Gie dalam buku Zaman Peralihan (2005), menjelang akhir 1965, harga kebutuhan pokok melonjak ratusan persen. Harga bensin, misalnya, naik drastis dari Rp400 menjadi Rp1.000 per liter. Kondisi ini diperburuk oleh ketidakstabilan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Namun, pemerintah dinilai lamban merespons krisis tersebut. Ribuan mahasiswa kemudian turun ke jalan membawa Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang berisi tiga desakan utama:

  1. Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)

  2. Perombakan Kabinet Dwikora

  3. Penurunan harga kebutuhan pokok


Langkah Soekarno dan Kabinet 100 Menteri

Terdesak oleh situasi, Soekarno akhirnya melakukan reshuffle pada 12 Februari 1966. Meski demikian, dalam pidatonya, ia membantah reshuffle dilakukan karena tekanan massa.

“Disesuaikan dengan tingkatan revolusi pada waktu ini. Bukan karena tuntutan atau demonstrasi-demonstrasi yang gila-gilaan,” tegas Soekarno, sebagaimana tertuang dalam buku Revolusi Belum Selesai (2014).

Namun, sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008) menilai, reshuffle ini sebenarnya bertujuan mempertahankan kekuasaan Soekarno sekaligus memperkuat sistem Demokrasi Terpimpin.

Kabinet hasil reshuffle bahkan berisi sekitar 100 pejabat setingkat menteri, sehingga dikenal sebagai "Kabinet 100 Menteri". Salah satu yang mencuri perhatian publik adalah Imam Syafiie, seorang mantan preman Pasar Senen yang diangkat menjadi Menteri Urusan Keamanan Jakarta.

Menurut Robert Cribb dalam buku Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010), Imam Syafiie sebelumnya memimpin organisasi Cobra, yang beranggotakan laskar dan kelompok preman untuk menjaga keamanan Jakarta.

Soekarno berharap langkah ini bisa meredam demonstrasi, tetapi harapan tersebut pupus karena tokoh-tokoh yang dianggap dekat dengan PKI seperti Omar Dani dan Soebandrio tetap dipertahankan dalam kabinet.


Gelombang Aksi Berujung Supersemar

Alih-alih mereda, aksi protes justru semakin besar dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Ketegangan politik memuncak hingga akhirnya 11 Maret 1966, Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang memberi mandat kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan negara.

Supersemar menjadi titik balik sejarah Indonesia. Setelah surat tersebut terbit, pengaruh Soekarno semakin melemah, sementara kekuasaan Soeharto terus menguat hingga akhirnya dilantik sebagai Presiden RI ke-2 pada 1968.


Reshuffle Prabowo dalam Konteks Kini

Reshuffle yang dilakukan Presiden Prabowo saat ini tentu berbeda konteks dengan era Soekarno. Jika pada masa lalu reshuffle dilakukan di tengah krisis politik dan ekonomi yang akut, saat ini perombakan lebih diarahkan untuk memperkuat kinerja kabinet dan merespons tantangan pembangunan.

Praktik reshuffle menunjukkan bahwa dinamika politik di Indonesia selalu bergerak dan menjadi bagian dari evolusi pemerintahan sejak masa kemerdekaan hingga kini.

Dengan mengganti lima menteri, Prabowo diharapkan mampu memperkuat pondasi pemerintahan dan menjawab harapan publik terhadap arah pembangunan nasional.(red.al)