Kuala Lumpur, matacandra,online – Amerika Serikat resmi menandatangani serangkaian perjanjian strategis terkait perdagangan dan pengelolaan mineral penting dengan empat negara di kawasan Asia Tenggara pada Minggu (26/10/2025). Langkah ini dinilai sebagai upaya Washington untuk memperkuat rantai pasokan global dan mengurangi ketergantungan terhadap China, yang semakin memperketat ekspor logam tanah jarang (rare earths).
Dilansir The Straits Times, Presiden AS Donald Trump, yang tengah berada di Kuala Lumpur untuk menghadiri KTT Ke-47 ASEAN, menandatangani sejumlah kesepakatan perdagangan timbal balik dengan Perdana Menteri Malaysia dan Perdana Menteri Kamboja.
Selain itu, Washington dan Bangkok juga menandatangani nota kesepahaman terkait kerangka kerja perdagangan baru. Dalam perjanjian tersebut, kedua negara berkomitmen untuk bekerja sama mengatasi hambatan tarif dan non-tarif yang selama ini menghambat arus ekspor-impor di kawasan.
Menurut pernyataan resmi Gedung Putih, AS akan tetap memberlakukan tarif sekitar 19% bagi sebagian besar produk dari tiga negara tersebut, namun tarif untuk sejumlah komoditas tertentu akan diturunkan hingga nol persen.
Kesepakatan Serupa dengan Vietnam
Tak hanya itu, Amerika Serikat juga menandatangani perjanjian serupa dengan Vietnam, yang selama ini menjadi salah satu mitra dagang utama AS di kawasan. Sebelumnya, produk ekspor Vietnam ke AS dikenakan tarif hingga 20%.
Sebagai bagian dari kesepakatan baru ini, Vietnam berjanji akan meningkatkan impor produk-produk asal AS untuk mempersempit defisit perdagangan yang mencapai sekitar US$123 miliar pada tahun lalu.
Fokus pada Kerja Sama Mineral Kritis
Selain sektor perdagangan umum, Presiden Trump juga meneken dua perjanjian penting dengan Malaysia dan Thailand mengenai kerja sama pengelolaan serta diversifikasi rantai pasokan mineral kritis. Langkah ini dinilai sebagai respons terhadap dominasi China dalam industri logam tanah jarang, yang menjadi bahan utama pembuatan chip semikonduktor, kendaraan listrik, serta teknologi pertahanan modern.
Menurut laporan Reuters, pemerintah China saat ini tengah menjajaki kerja sama dengan Malaysia terkait pembangunan fasilitas pemrosesan logam tanah jarang. Proyek ini diperkirakan akan melibatkan dana investasi dari Khazanah Nasional—lembaga pengelola kekayaan negara Malaysia—bersama perusahaan asal China.
Sebagai negara penghasil logam tanah jarang terbesar di dunia, China diketahui telah memperketat kebijakan ekspor untuk sektor tersebut, terutama pada teknologi pemurnian. Kondisi ini mendorong negara-negara Barat, termasuk AS, mencari alternatif sumber pasokan dari kawasan lain seperti Asia Tenggara.
Sikap Malaysia terhadap Ekspor Mineral Strategis
Malaysia menegaskan tidak akan memberlakukan pelarangan atau kuota ekspor terhadap mineral penting maupun elemen tanah jarang ke Amerika Serikat. Meski demikian, belum ada kejelasan apakah kebijakan tersebut mencakup mineral mentah atau yang sudah melalui tahap pemrosesan.
Negeri jiran ini diketahui memiliki cadangan logam tanah jarang sekitar 16,1 juta ton. Pemerintah Malaysia sebelumnya telah membatasi ekspor bahan mentah mineral tersebut guna menjaga nilai tambah di dalam negeri dan mendorong pertumbuhan industri pengolahan hilir.
Kesepakatan antara AS dan empat negara Asia Tenggara ini dianggap sebagai langkah strategis memperkuat hubungan ekonomi regional sekaligus menegaskan komitmen Washington dalam menjaga kestabilan rantai pasokan global di tengah persaingan geopolitik yang semakin tajam dengan Beijing.(red.al)

0 Komentar