MEDAN,  matacandra,online – Korban banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terus berjuang bertahan hidup setelah bencana besar melanda pada 25–27 November 2025 akibat hujan ekstrem yang dipicu siklon tropis Senyar. Banjir bandang membawa kayu gelondongan, batu, dan lumpur yang menghantam permukiman warga. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan harus mencari cara untuk tetap hidup.

Berdasarkan data BNPB per Minggu 7 Desember 2025, korban tewas di tiga provinsi mencapai lebih dari 900 orang. Sebanyak 390 orang dinyatakan hilang, 5.000 orang terluka, dan 800.000 penduduk harus mengungsi ke berbagai lokasi.

Air Setinggi Kabel Listrik di Aceh Tamiang

Di Aceh Tamiang, Wahyu Putra Pratama, warga Kampung Dalam, Karang Baru, menceritakan bahwa banjir mulai masuk pada Rabu 26 November 2025. Tinggi air yang mencapai tiga meter merusak bangunan dan memaksa warga mengungsi ke Kantor Komite Peralihan Aceh.

“Air naik cepat sekali setinggi kabel listrik sekitar tiga meter. Rumah sudah hancur semua,” kata Wahyu kepada detikSumut.

Air baru surut pada hari keenam. Selama empat hari terjebak banjir, Wahyu dan warga lain bertahan hidup dengan memakan apa pun yang ditemukan.

“Kami cari kelapa apa saja yang bisa dimakan. Kami berenang sambil ikat pinggang supaya tidak hanyut. Air naik hanya satu setengah jam langsung tiga meter,” jelasnya.

Ia menyebut peristiwa itu seperti tsunami namun bersumber dari luapan sungai.

Empat Hari Terjebak Tanpa Makanan di Menang Gini

Ishak alias Kureng, warga Desa Menang Gini, mengalami kondisi serupa. Banjir menerjang kampungnya sejak Rabu malam. Keesokan harinya, ketinggian air bertambah hingga tiga setengah meter.

“Hari Jumat baru mulai reda pelan-pelan dan Sabtu kami bisa keluar cari makan. Kami terjebak empat hari empat malam,” ujar Ishak.

Ia hanya berhasil menyelamatkan keluarganya. Sementara itu, harta benda habis tersapu banjir.

“Yang paling dibutuhkan sekarang makanan air bersih dan obat-obatan untuk bayi. Banyak anak sudah demam,” ujarnya.

Ibu di Sumatera Barat Peluk Anak Melawan Arus

Di Palembayan, Sumatera Barat, seorang ibu bernama Rina Sitati menceritakan detik-detik ia dan anaknya terseret arus banjir bandang. Dalam video 20detik, Rina menuturkan bahwa ia memeluk anaknya sepanjang arus menyeret tubuh mereka.

“Anak saya terasa berat dipeluknya saya,” kata Rina sambil menangis.

Ia mengaku sempat pasrah dan berpikir akan meninggal.

“Kami berlari kira-kira sepuluh meter dari rumah lalu langsung gelap. Anak yang awalnya menggenggam tangan saya tiba-tiba kami berpelukan,” ujarnya.

Saat merasa masih bisa bernapas, ia bangkit dan kembali memeluk anaknya hingga akhirnya keduanya selamat.

50 Warga Terjebak di Hutan Tapanuli Tengah

Di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sebanyak 50 warga terjebak di dalam hutan selama dua hari setelah banjir bandang menerjang pemukiman. Mereka tidak mendapatkan bantuan logistik karena akses tertutup total.

Rosmawati Zebua mengatakan adiknya termasuk dalam rombongan warga yang terjebak sejak Selasa 25 November.

“Dari saat kejadian sampai besoknya tidak makan sama sekali,” ujar Rosmawati.

Pada hari kedua, warga mulai mencari tumbuhan yang dapat dimakan. Mereka menemukan buah nangka muda seukuran kelereng yang dipanggang untuk mengganjal perut. Mereka juga minum air hujan karena tidak ada sumber air bersih.

Evakuasi mandiri dilakukan pada Kamis 27 November. Keluarga Rosmawati menerima kabar selamat pada Minggu 30 November.

Guru Jalan Kaki 130 Kilometer Demi Selamat

Kisah perjuangan lainnya datang dari guru PPPK Bahasa Jepang bernama Adi Guenea Isman 26 tahun. Ia berjalan kaki dari Aceh Tamiang menuju Medan sejauh sekitar 130 kilometer karena tidak ada kendaraan yang dapat lewat.

Adi yang bertugas di SMK Negeri 2 Karang Baru mengatakan air naik setinggi dua meter dalam beberapa jam. Ia dan empat keluarga lain mengungsi di lantai dua kos-kosan.

“Tidak ada bantuan tidak ada sinyal tidak ada listrik,” kata Adi.

Setelah air surut pada 1 Desember, ia mencoba keluar mencari sinyal untuk menghubungi keluarganya di Sumedang. Kondisi jalan yang rusak membuatnya berjalan kaki. Sepeda yang hendak dipakai rusak terseret banjir.

Pada 4 Desember, ia memutuskan berjalan menuju Medan. Beberapa truk yang lewat menolak memberinya tumpangan karena maraknya penjarahan truk sembako.

Ia tidur di gubuk-gubuk kosong dan kadang hanya makan dari belas kasihan warga.

“Uang tidak ada identitas hanyut semua,” ujarnya.

Pada 6 Desember, ia tiba di Binjai dan mendapatkan sinyal telepon. Warga membantu mengantarnya naik bus hingga tiba di Medan.(red.al)